Saya (Elsa), Dian, Mirah, Zahra, k Wan dan k Yusmiar pergi ke Pantai Teres
dan ini cerita kami…
Rencana pergi ke pantai ini sudah dari dua hari yang
lalu tepatnya tanggal 15 April 2017. Sebelumnya chattingan dulu di fb namun
rencana tersebut dibatalkan. Dan satu
hari sesudahnya saya mendapatkan sms dari Zahra “Assalamualaikum… Elsa bsok jln
ko?” namun saya baru membalas pesan tersebut di tanggal 17 April “Mbb… Jln pi
mana zar? Emang ni hari masih libur?”. Zahra bilang “Iya masi elsa, klo u mmg
mau jln u sms ka yusmiar n k wan e, b snd ada paket bbm ni”. B balas “OK”.
Jadi, b sms semua dan fix jam 10 sudah ada di depan halte kampus.
Ngomong-ngomong dari hari Rabu, 13 April kami memang libur dalam rangka
perayaan Paskah bagi umat Katolik.
…
Jam 10:05, saya sudah tunggu di depan halte namun
belum ada siapa-siapa. Sepuluh menit kemudian saat mau beli tisu di kios, k
Yusmiar datang. Lalu kami menjemput Mira di kosnya. Setelah sampai di Mira kami
jemput Dian. Saat itu kami lewat jalan bawah di dekat kosnya Mira karena
katanya dari situ tembus gereja di Oesapa. Karena baru pertama kali gw lewat
situ yaudah, jalan aja. Terus gw liat-liat sekitar lingkungan situ, gw liat ada
satu rumah yang mirip sama rumahnya Dian dan ternyata memang itu rumahnya Dian.
Ternyata jarak kosnya mira dengan rumah Dian dekat banget. “teett…teeet.” Saya
mengelakson di depan rumahnya dian dan memberitahukan k Yusmir dan Mira untuk
berhenti. Lalu setelah menjemput Dian kami menuju K Wan sama Zahra yang sudah menunggu
di Tarus.
Sebelum jalan kami berdoa dulu tapi “cepat le doanya” kata Dian. Gw mah
senyum aja…
Kurang lebih 30 menit, perjalanan kami sampai di Pasar
Oesao. Disana kami berhenti sejenak lalu kami bilang sama k Yusmiar “jalannya
jangan ngebut-ngebut k.” “b takut hujan disana” jawabnya. “sonde hujan. Ko ini
ada pawai ju, paling dong su palang hujan. Jalan santai sa” balas kami.
Memasuki kawasan hutan lindung jalanan berkelok-kelok.
Tiba-tiba saja motor yang di tumpangi k Wan dan Zahra melonceng ke pinggir dan
mereka hampir jatuh. Saya dan Dian hanya tertawa saja dan khawatir juga.
Dua puluh menit berlalu, kami pun sampai di jalan
menurun dan berpasir. Jalanan ini adalah jalan menuju Fatubraun dan juga Pantai
Teres. Untuk menuju Pantai Teres, memerlukan perjuangan yang lebih lagi karena
jalanan masih panjang sekitar 6km dari
Fatubraun.
Sebelum melewati jalan menurun tersebut, saya memberhentikan motor dan
meminta Dian untuk menjadi joki karena saya takut jatuh sebab sebelumnya saya
pernah melewati jalanan tersebut dan dua kali jatuh di tempat yang sama. Kami pun
jalan. Tapi belum dua menit berjalan ternyata k Yusmiar dengan Mira tumbang
(jatuh) dari motor. Lalu k Wan pergi menolong mereka.
Mira “kak Yusmiar ni, bukan angkat motor dulu malah angkat b ni. B pu kaki
tertendes motor (sambil ketawa dengan muka sedih dan agak jengkel)”.
Sampai di cabang menuju Fatubraun dan Pantai Teres. Di jalan menuju pantai
Teres ini jalanannya lebih menurun dan menyeramkan.
“Elsa, mundur do” kata Dian.
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Dian karena saat itu, saking lucunya
saya hanya bisa ketawa sampai perut saya sakit. Karena saking menurunnya jalan
tersebut saya yang dibonceng Dian merosot sampai di tempat duduknya Dian. Dan
Dian sampai-sampai berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk. 😃 padahal ya
sudah memegang pegangan di belakang motor. Disitu saya dan Dian hanya bisa
tertawa. Untung masih ada jalanan yang rat, lalu saya meminta dian untuk
berheni. Dan kami membenarkan posisi duduk kami masing-masing. 😃
Sebelum ke pantai, kami menyempatkan berfoto di dekat Fatubraun.
Kami meminggirkan motor dan menyetandarkannya kemudian menaruh helm di
motor masing-masing.
Yang lain sudah berfoto sedangkan saya dan Dian baru akan menaruh helm
kami. Saya pun menaruh helm di motor saya dan tidak lama di ikuti Dian. Sedang
asik-asiknya dan belum lama berfoto tiba-tiba “bruk…” motor saya jatuh. Helm
yang kami taruh menggelinding ke bawah. Untung saja tidak menggelinding terlalu
jauh. Kemudian saya dan Dian langsung
mengambil helm dan para cowok memberdirikan motor. Lalu saya meminta Dian untuk
memarkir motor di bagian kanan jalan yang jalanannya lebih rata. Ternyata tadi kami
memarkir motor belum betul sehingga motor tersebut jatuh.
Setelah puas berfoto di situ kami melanjutkan perjalanan.
Saat ada view yang bagus, saya dan Dian berhenti dan berfoto sehingga teman
lain yang sudah duluan jalan mereka harus berhenti karena menunggu kami yang
lama datang.
Jam setengah dua siang, sampailah kami di jalanan beraspal area pantai.
Alhamdulillah jalanannya sudah halus.
Kami lalu ke arah kiri namun tidak melihat Pantai Teres, yang ada hanyalah
kali dan Mira “hee….? (bingung) ini kan jalan pulang”. “Jadi, dimana Pantainya?, masa hanya begini
sa? Ketong balik sa ke jalan kanan, mungkin disitu pantainya.” kata saya. Saat
jalan ada pesawahan lalu kami berhenti untuk berfoto-foto lagi. Padahal
pesawahan yang dekat Kupang ada di Oesao, tapi kami malah foto di tempat ini.
Setelah berfoto kami melanjutakan perjalanan. Sepanjang perjalanan jalan di
pantai tersebut beraspal namun ada beberapa bagian yang rusak, sehingga
terkadang kami yang mengendarai motor rasa-rasanya mau jatuh. Dan kami belum
ketemu letak Pantai Teres yang biasanya di kunjungi wisatawan.
Saya melihat di bagian kanan pantai ada batu-batu yang besar lalu kami pun
memutuskan menuju ke batu-batu tersebut. Saat jalan, kami melihat sekumpulan
bapak-bapak yang adalah penduduk setempat dan kami bertanya kepada mereka “Pak,
Pantai Teres dimana?”, “disana” (tunjuk bapak itu ke arah kiri) , “kalau yang
disebelah kanan pantai apa ,pak?”, “Pantai Batu Tujuh” jawab si bapak.
Kami pun pergi ke Pantai Batu Tujuh.
Dua puluh menit perjalanan dan tinggal setengah
perjalanan lagi, mungkin kami sudah sampai di Pantai Batu Tujuh tersebut. Namun
sayang jalan menuju pantai rusak dan tidak memungkinkan. Dari pada
kenapa-kenapa kami akhirnya balik ke Pantai Teres. Saat balik, awan hitam tebal
datang dari arah utara. Namun kami malah berhenti sejenak di pantai untuk
berfoto. Di pantai tersebut ada tanaman rumput yang bentuknya seperti bulu babi
tapi warnanya coklat. Karena menurut saya dan Dian tanaman tersebut unik maka
kami berfoto disitu. Sampai-sampai Dian mengambil tanaman tersebut sebagai
kenang-kenangan. Setelah itu kami berdiskusi tentang jalan pulang mau melewati
yang mana. Awalnya kami mau ikut sarannya Mira lewat jalan satunya yang tidak
susah mananjaknya namun kami tidak jadi melewatii jalan yang di sarankan Mira
tersebut karena saat kami tanya di salah satu penduduk, katanya jalan tersebut
tidak bisa dilalui. Akhirnya kami nekat melewati jalan di Fatubraun lagi. Saat
kami jalan, hujan sudah tiba. Kami pun basah kuyup.
Belum ada seperempat perjalanan motor saya dan k Yusmiar tidak bisa jalan
karena ban motor kami dipenuhi lumpur. Sedangkan k Wan dan Zahra sudah duluan
di atas perbedaan jarak kami adalah 3km.
Karena motor kami tidak bisa jalan, akhirnya kami memutuskan untuk turun
kembali dan melewati jalan yang di sarankan Mira. Saat itu kami terik-teriak
memanggil k Wan dan Zahra namun mereka sudah terlanjur jauh. Becek, lumpur,
basah, licin, dingin dan butuh perjuangan. Itulah yang tergambar saat kami mau
menuruni jalan di Fatubraun. Baru jalan sedikit motor macet karena lumpur
tersebut menempel di ban motor dan membuat motor itu tidak bisa bergerak,
sampai-sampai bagian bawah sepatu yang saya gunakan juga dipenuhi lumpur juga
dan sepatu saya seperti ditambah hak 3cm dari lumpur tersebut dan saat saya
jalan yang ada badan saya sulit untuk degerakan, saya berjalan seperti sebuah
robot. Saat itu mira yang paling senang ngetawain saya. Badan basah, baju dan celana kotor karena
lumpur, sepatu terkena tanah basah dan saat jalan pun sulit. Kami lalu membuka
sepatu dan sandal alias kami nyeker tanpa alas kaki. Saya, Dian, Mira dan k
Yusmiar ganti-gantian membersihkan ban motor yang terkena lumpur baik dengan
tangan maupun dengan ranting kayu dan kami bergantian menyetir.
Karena kerepotan, tanaman yang ingin di bawa pulang sama Dian dibuang di
situ. ☹ memang agak
repot juga membawa tanaman tersebut.
Saat k Yusmiar
dan Mira masih berhenti sejenak. Saya dan Dian perlahan melanjutkan perjalanan.
Kami mencari jalan yang ada tumbuhannya agar motor bisa jalan sedikit demi
sedikit. Mungkin ada setengah kilo meter sebelum sampai di jalan beraspal, motor
saya jatuh dua kali saking licinnya. Karena cuma berdua, saya dan Dian lalu
berusaha berdirikan motor saya yang besar dan berat itu. Akhirnya, kami sampai
juga di jalan beraspal. Kemudian kami berhenti di kali dan membersihkan motor
dari lumpur yang menempel tersebut.
Tidak lama, Mira dan k Yusmiar datang dan di belakang mereka ternyata ada
Zahra dan k Wan. Sudah bersih sedikit, saya dan Dian duluan jalan. Tiba di
pertigaan dan kami bingung mau lurus terus atau belok kiri. Akhirnya kami
menunggu yang lain datang. Lima menit menunggu akhirnya merekapun datang. “Lamaya”
kata kami.
Kami bertanya sama Mira tentang jalan pulang yang dia lalui dulu dan
ternyata dia juga tidak terlalu ingat jalan tersebut. untung ada seorang bapak
dengan mobil lewat. Kami lalu bertanya. Kata bapak tersebut kalau mau pulang ke
Kupang lewat jalan ini (arah utara) kalau lurus (arah timur) itu jalan buntu. Tanpa memperlama waktu kami pun jalan
mengikuti instruksi yang bapak tadi katakan.
Baru jalan sepuluh menit seorang anak laki-laki dari arah depan mengatakan “jalanan
tidak bisa lewat, kali meluap”. Saat itu
ada sebuah mobil yang mengangkut kayu bakar. Mereka juga berhenti karena tidak
bisa lewat. Kami bertanya sama anak tersebut “air kali berhenti keluar kapan?”.
“malam baru berhenti kak” kata anak itu.
Panik dan takut itulah perasaan para cewek karena ini di hutan dan sudah mulai
gelap waktu menunjukkan pukul 17.30, lalu perasaan kami khawatir karena besok kami masuk kuliah. Sambil
menunggu air berhenti, penduduk setempat mencoba berjalan di kali menuju seberang.
Kami si empat cewek menunggu di motor dan makan bekal yang kami bawa. Saat itu
juga kami mencari ide jika tidak bisa pulang besok apsen kampus bilang apa?.
Mira bilang “taruh sakit sa nanti tinggal minta surat keterangan sakit di
dokter”. Kata saya “mending ketong rekam ini kejadian supaya jadi bukti”. Namun
saat itu masih hujan rintik-rintik dan tidak ada yang mau mengeluarkan hp
masing-masing, takut hpnya rusak. Dan saat itu juga Zahra cerita kalau dia tadi hampir hanyut di
kali yang pertama, utung k Wan langsung
tarik dia. Lima menit berselang si supir mobil mencoba menerjang arus di kali
dan Alhamdulillah, utungnya berhasil ke seberang. Hujan sudah reda, saya
mengeluarkan hp saya dan merekam kejadian yang menurut saya ini adalah
perjalanan yang sangat langka dan menantang sekali. Lalu si supir dan penduduk
setempat membantu kami menyeberangi kali di arus yang deras. Saat merekam
kejadian ada seorang mama yang bilang ke saya biar tante yang rekam saja nanti
baru ambil hp karena saat itu saya, Dian, Mira dan Zahra menyeberangi kali
tersebut. Kami pun sampai di seberang. Kemudian k Wan menyeberangkan motor kami
satu persatu. Ini baru dua rintangan dan ternyata di depan masih banyak
rintangan lainnya.
Satu jam perjalanan menuju jalan besar beraspal kami
masih harus melewati tanjakan yang bebatuan , yang licin dan berlumpur. Motornya
Zahra bensin belum di isi, motor saya sulit melaju karena tanah yang berlumpur
sedangkan motornya k Yusmiar tidak bisa mendaki jika dinaiki dua orang. Jadi,
sepanjang perjalanan kami harus berjalan kaki dulu pada saat di tanjakan maupun
di jalan berlumpur kemudian naik lagi ke kendaraan saat jalanan rata, lalu kami
harus dorong motor saat motor mogok. Mobil yang bersama kami pun terkadang
mogok. K Wan dan k Yusmir beberapa kali bantu mendorong mobil tersebut. Saat
itu sudah gelap dan kami mash berada di tengah-tengah perjalanan yang menantag.
Yang melewati jalanan tersebut ada empat motor dan satu mobil. Beberapa menit
kemudian ada sebuah mobil yang ternyata itu adalah mobl si bapak yang diawal
kami menanyakan arah jalan pulang ke Kupang. terkadang kendaraan lain sudah
duluan dan yang dibelakang adalah kendaraan saya dengan Dian. Kenapa posisi
kami bisa di belakang? Motor yang dikendarai kami tidak bisa jalan menanjak
jika diduduki dua orang. Jadi, saya harus turun dan membatu Dian menjalankan
motor. Saat itu kami takut karena kami perempuan, terus hari gelap, dan kami
yang terbelakang. Jadi, kami selalu mengejar mobil yang sudah di depan kami
supaya kami tidak berada di posisi belakang lagi. Kami sudah berada di depan
mobil dan beberapa saat kemudian motor berat lagi dan tidak mau gerak. Saya
harus turun lagi dari motor. Saat itu karena sudah capek dan yang lain sudah di
depan termasuk Dian dan saya masih di belakang. Akhirnya saya numpang di mobil
si bapak. 😃 lalu sampailah kami di jalan besar
dan si bapak mengelakson Dian, k Wan dan k Yusmir agar mereka berhenti karena
saya ada di dalam mobil tersebut. Tapi mereka malah mau jalan terus. Untung
salah satu dari mereka ada yang sadar kalau saya berada di dalam mobil tersebut
dan akhirnya mereka berhenti dan saya pun kembali ke kendaraan saya.
Sudah azan Isya dan kami pun tiba di rumah penduduk
yang berjualan bensin. Kami lalu membeli bensin tersebut. k Yusmiar membeli
tiga botol, saya dua botol dan Zahra dua botol. Namun yang menjadi kendala di
sini adalah kunci motornya Zahra hilang, akibatnya jog motor tidak bisa di
buka, kami pun mencari cara agar jog motor tersebut bisa terbuka kembali. Mulai
dari pinjem obeng di teman lain dan si penjual, meminjam gunting dan ketika ada
orang yang lewat kami meminta pertolongan. Namun tetap saja jog motor tersebut
tidak bisa di buka. Untungnya jog motor masih bisa dibuka sedikit dengan
mengangkat tempat duduk motor dan bisa dimasuki satu tangan. Alhamdulillah
tempat pengisi bensin juga bisa dibuka kami lalu mengisi besin. Disitu K Wan yang
mengangkat tempat duduk, k Yusmiar yang memegang selang, saya dan Mira yang
mengisi bensin, dan Dian yang memberi penerangan menggunakan senter hp. Dan
untungnya motornya Zahra masih nyala walaupun tidak ada kunci motor. Lalu, kami
melanjutkan perjalanan pulang ke Kupang. Jalan yang kami lewati ini berbeda
dari jalan sebelumnya, namun tetap tembus di jalan besar. Saat itu sudah pukul
tujuh malam dan kami masih melewati kawasan hutan lindung. Suasana disana sepi,
gelap, dan berkabut lalu hanya ada tiga kendaraan yang lewat yaitu kendaraan
yang kami bawa. Dan beruntungnya beberapa menit kemudian banyak kendaraan di
depan yang searah dengan kami. Jadi, tidak sepi lagi.
Dingin, tubuh saya menggigil sedikit, untungnya saya masih bisa bertahan
sampai akhir. Saat itu yang bawa motor saya adalah Dian namun karena Dian
kecapekan dan kepalanya sudah pusing, maka saya yang gantian mengendarai sampai
pulang.
Akhirnya kami sampai di Pasar Oesao. Kami berhenti sebentar untuk
beristirahat sejenak. Saat itu kami tertawa dengan keadaan kami yang kotor
akibat lumpur disana, kami seperti habis membajak sawah. Sepanjang perjalanan orang-orang yang lewat di
sekitar kami membicarakan kami.
Karena motor kotor, saya minta agar cari tempat cuci
motor dulu. Sepanjang perjalanan saya tanya di Dian “tempat cuci motor masih
ada yang buka ko?”. Dian bilang “ada di Oesapa”. Tapi sebelum sampai Oesapa, Dian
ingat kalau di Sitarda ada tempat cuci motor jadi, kami langsung kesana. Untung
tempat cuci motornya belum tutup alias masih buka. Kami langsung cuci motor di
situ. Namun saat ditanya cuci motor harganya berapa, si pencucinya bilang lima
belas ribu. Padahal biasanya cuci motor hanya sepuluh ribu. Mungkin karena
kondisi motor yang lengket dengan lumpur dan kotor sekali. Mau dikatakan apa
lagi, sudah malam begini akhirnya kami cuci saja motor kami dengan harga segitu.
Dan si pencuci motor juga menertawai karena keadaan kami yang kotor dipenuhi
lumpur.
Di tempat cuci motor, kami meminta air untuk membersihkan sepatu, celana dan
kaki kami yang berlumpur.
Sambil menunggu kami duduk dan menanyakan keberadaan Zahra dan k Wan. Selang
beberapa menit telpon saya bunyi, ternyata mama telepon “dek, dimana? Sudah malami
gini, kapan pulang?” dengan seribu satu alasan saya pun menjawab “lagi di Dian,
dan masih di tempat cuci motor ma, sedikit lagi baru pulang”. “jangan
malam-malam pulangnya” kata mama. “iya” jawab saya.
Lalu ada telepon lagi dari Zahra “besong dimana?”. “lagi
di Sitarda dekat Hemart, datang sini sa”. Beberapa menit kemudian Zahra dan k
Wan datang. Lalu k Wan mengambil kunci motor saya yang tergantung di motor.
ternyata dia mencoba mematikan motornya Zahra dengan kunci tersebut, berhasil
mati namun saat mau dinyalakan tidak bisa lagi. Ooo…ooo… “kenapa di matin?”
kata Zahra. Satu masalah bertambah. Dan sekarang gimana caranya k Wan dan Zahra
pulang?. Kak Wan kembali mengutak-atik kontak motor siapa tau bisa nyala, saya
dan k Yusmiar juga bergantian mencobanya namun tetap saja tidak bisa. Di situ
Zahra cerita lagi kalau sendalnya ketinggalan di tempat jual bensin akhirnya
dia nyeker.
Jam Sembilan malam motor kami telah bersih. Dan k Wan
sudah menelepon Iky untuk datang dan menolongnya derek motor, k Yusmiar juga
bersama mereka. Saya, Dian dan Mira pun akhirnya satu motor bertiga. Kami
pulang duluan. Pertama-tama anter Dian ke rumahnya lalu dari situ Dian dengan
Mira satu motor pakai motornya Dian dan saya sendiri. Kami mengantar Mira ke
kosnya. Karena saya penakut, saya minta Dian antar saya sampai di Stim namun
Dian bilang “sudah sampai di Bundaran sa”. Belum sampai di Bundaran tiba-tiba
ban motor depannya Dian kempes di depan Kampus Undana. Akhirnya Dian mengantar
saya sampai di situ saja dan saya pun melanjutkan perjalanan pulang. Saya sampai di rumah jam sepuluh malam.
Perjalanan ini memberikan banyk pelajaran kepada kami
dan kami mungkin insyaf untuk perjalanan yang kami sendiri belum tau rintangan
dan kondisi tempat tersebut. lelah, letih, dan cape. Liburan kali ini sungguh
diluar dugaan dan melebihi film nekad treveller atau my trip my adventure.
Liburan kali ini membuat saya kopok untuk berjalan jauh. Ditambah lagi keesokan
harinya setelah bangun tidur. Badan terasa capek, saat menaruh kaki ke tanah
yang dirasakan adalah kaki seperti meninjak duri lalu badan kami sedikit
tergores dan luka terkena duri atau benda-benda asing saat perjalaanan kemarin.
Ini
Vidio perjalanan kami
No comments:
Post a Comment